Pendahuluan
Keijaka moneter dan perbankan memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatasi krisis yang menipa suatu negara, apabila kebijakan monete didalam sebuah negara sudah bijaksana maka sangat memugkinkan untuk mengatasi krisis yang menimpa negara tersebut.
Bank Sentral sebagai pemegang otoritas moneter di suatu Negara memilikikedudukan dan fungsi yang strategis dalam ikut menentukan stabilitas ekonomi suatu negara. Apalagi, karena kebijakannya dapat berpengaruh langsung terhadap kon makro ekonomi Negara tersebut. Oleh karena itu, kedudukan Bank Sentral suatu Negara haruslah kuat dan terjaga stabilitasnya.disi
PERAN KEBIJAKAN MONETER DAN PERBANKAN DALAM
MENGATASI KRISIS EKONOMI DI INDONESIA
I. Kebijakan Ekonomi Makro dan Kebijakan di Sektor Keuangan di Indonesia
Sebelum Krisis Ekonomi Tahun 1997
Pembangunan ekonomi pada dasarnya berhubungan dengan setiap upaya untuk
mengatasi masalah keterbatasan sumber daya. Di negara-negara sedang berkembang,
keterbatasan sumber daya ini terutama berupa keterbatasan sumber dana untuk investasi
dan keterbatasan devisa, di samping tentunya keterbatasan sumber daya manusia yang
berkualitas.
Dalam rangka mengatasi keterbatasan sumber daya tersebut, pilihan kebijakan
yang diambil pada umumnya berfokus kepada dua aspek, yaitu aspek penciptaan iklim
berusaha yang kondusif, terutama berupa kestabilan ekonomi makro, dan aspek
pengembangan infrastruktur perekonomian yang mendukung kegiatan ekonomi.
Kestabilan ekonomi makro tercermin pada harga barang dan jasa yang stabil serta
nilai tukar dan suku bunga yang berada pada tingkat yang memungkinkan pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan dengan kondisi neraca pembayaran internasional yang
sehat.
Sementara itu, pengembangan infrastruktur perekonomian mencakup
pengembangan seluruh lembaga pendukung bagi berjalannya aktivitas ekonomi, yaitu
sektor usaha, sektor keuangan/perbankan, perangkat hukum dan peradilan, dan lembaga
pemerintahan/birokrasi yang mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat
mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat.
Upaya pemeliharaan kestabilan ekonomi makro berada di dalam lingkup tugas
kebijakan ekonomi makro, yaitu kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan nilai
tukar Sementara itu, upaya pengembangan infrastruktur ekonomi berada di dalam
lingkup tugas kebijakan ekonomi mikro, seperti kebijakan di bidang industri,
perdagangan, pasar modal, perbankan, dan sektor keuangan lainnya. Dua di antara
berbagai kebijakan tersebut, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan di bidang perbankan,
saat ini menjadi cakupan tugas Bank Indonesia.
Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan ekonomi makro, terdapat
empat kebijakan umum yang diambil selama periode sebelum krisis, yaitu:
Menerapkan kebijakan fiskal/anggaran berimbang untuk menghindari penggunaan
hutang domestik dalam pembiayaan pengeluaran pemerintah.
Menerapkan kebijakan moneter yang berhati-hati yang menjaga agar
pertumbuhan likuiditas sesuai dengan pertumbuhan permintaan riil.
Menjaga agar nilai tukar rupiah selalu berada pada posisi yang realistis. Pada
awalnya ini dilakukan melalui kebijakan devaluasi setiap kali situasi ekonomi
menuntut demikian. Kemudian, kemudian sejak tahun 1986 hal ini dilakukan
melalui penyesuaian sasaran nilai tukar rupiah secara harian yang ditujukan untuk
memelihara daya saing industri-industri berorientasi ekspor dan sekaligus agar
perkembangan nilai tukar rupiah sesuai dengan kondisi permintaan dan
penawaran di pasar valuta asing.
Mempertahankan kebijakan lalu lintas modal (devisa) bebas sejak tahun 1971.
Kebijakan ini telah membantu menarik investasi asing dan membuat
perekonomian Indonesia dapat dengan relatif cepat menyesuaikan diri terhadap
perubahan kondisi di pasar internasional.
Berbagai langkah kebijakan tersebut telah mendukung pemeliharaan kondisi
ekonomi makro yang relatif stabil dan predictable selama periode sebelum krisis
ekonomi 1997. Dalam periode tersebut laju inflasi relatif terkendali pada level rata-rata di
bawah 10% per tahun. Defisit transaksi berjalan berada pada tingkat yang dapat
3 Kebijakan Nilai Tukar ini dapat pula dipandang sebagai bagian dari Kebijakan Moneter, akan tetapi sering
lebih tepat dipandang sebagai kebijakan tersendiri.
4 Lihat uraian J. Soedradjad Djiwandono dalam “Macroeconomic Policy: A Foundation for Sustainable
Economic Development”, Kumpulan Pidato dan Makalah Gubernur Bank Indonesia Juli – Desember 1996,
No. 9, 1996, Bank Indonesia, Jakarta.
3
dikendalikan dan jumlah cadangan devisa dapat dipertahankan pada tingkat yang cukup
untuk membiayai kebutuhan impor rata-rata selama lima bulan. Suku bunga riil dapat
dipertahankan pada tingkat yang selalu positif sehingga mampu mendorong kenaikan
tabungan dan investasi. Selain itu, nilai tukar riil juga berhasil dipertahankan pada level
yang mampu menjaga daya saing komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional.
Di sektor keuangan, dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan
investasi, upaya menggerakkan sumber dana domestik dilakukan dengan
mengembangkan infrastruktur sektor keuangan, khususnya industri perbankan. Hal ini
terlihat sangat jelas kalau kita mengamati perkembangan sektor keuangan di Indonesia
yang sarat dengan rangkaian deregulasi sejak tahun 1983. Praktis kita dapat mengatakan
bahwa proses deregulasi perekonomian yang dilakukan di Indonesia hampir identik
dengan deregulasi sektor keuangan.
Dalam hal ini memang terdapat pertanyaan mengapa deregulasi sektor keuangan
jauh lebih sering dan lebih dahulu dilaksanakan dibandingkan dengan deregulasi di sektor
riil. Terlepas dari adanya perdebatan tentang sequencing dari proses deregulasi ini,
khususnya yang menyangkut apakah sektor keuangan dulu atau sektor riil dulu, yang
jelas diutamakannya deregulasi sektor keuangan merupakan pilihan kebijakan yang
diambil dengan melihat kondisi pada waktu itu Namun, satu hal yang penting untuk
dicatat adalah bahwa penyempurnaan dalam pengaturan dan pengawasan sektor
keuangan, khususnya perbankan, harus menyertai deregulasi. Ini merupakan syarat utama
yang memungkinkan bank-bank dapat berkembang dengan baik serta dapat
memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan yang disajikan oleh deregulasi dengan
relatif aman
,
Prioritas yang diberikan oleh berbagai negara, khususnya negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, bagi pelaksanaan deregulasi sektor keuangan selama
dasawarsa 1970an dan 1980an memang dapat dipahami karena perkembangan sektor ini
dalam dasawarsa 1950an dan 1960an di negara-negara tersebut tidak begitu cerah. Hal
ini berkaitan erat dengan pendekatan pembangunan ekonomi yang diterapkan di negaranegara
berkembang pada periode 1950an dan 1960an yang cenderung mengarahkan
pembangunan ekonomi ke sektor-sektor strategis. Berkaitan dengan itu, kebijakan di
sektor keuangan yang diambil adalah melakukan selective credit policy atau semacamnya
agar dana lebih banyak mengalir ke sektor-sektor ekonomi tersebut. Kebijakan ini
didukung oleh kebijakan suku bunga kredit yang rendah. Berbagai kebijakan itu telah
membatasi keleluasaan sektor keuangan untuk bergerak secara efisien dalam
menyalurkan dana dari pemilik ke pengguna dana.
Sebagai dampak dari terbatasnya ruang gerak sektor keuangan maka terjadilah
apa yang disebut oleh McKinnon dan Shaw sebagai “financial repression” yang
menyebabkan “shallow finance”, yaitu tidak tersalurnya dana (daya beli) secara efisien ke
kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif dan efisien pula, sehingga pertumbuhan
ekonomi menjadi terhalang
Untuk mengatasi masalah itu, McKinnon dan Shaw menganjurkan agar diadakan
liberalisasi (deregulasi) sehingga terjadi “financial deepening”. Melalui deregulasi, bankbank
dan lembaga-lembaga keuangan lainnya diberi keleluasaan yang lebih besar untuk
beroperasi secara efisien atas dasar mekanisme pasar sehingga mereka dapat berfungsi
dengan baik dan seefisien mungkin dalam menyalurkan dana dari pemilik dana kepada
pengguna dana (pengusaha) untuk keperluan produksi. Mereka berkeyakinan bahwa
ketersediaan dana berdasarkan mekanisme pasar merupakan faktor yang sangat penting
untuk dapat menciptakan sistem perekonomian yang efisien dan mencapai laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Strategi deregulasi sektor keuangan itu yang diterapkan di Indonesia, dimulai
secara terbatas dengan menetapkan suku bunga bank lebih realistis pada tahun 1968 –
1970, dan kemudian dilanjutkan dengan deregulasi tahun 1983 dan 1988. Sebagai
hasilnya, kita melihat betapa sektor perbankan telah berhasil meningkatkan perannya
sebagai media intermediasi dan penyedia jasa perbankan lainnya, dan hal ini telah pula
menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi di masa lalu.
Di sisi lain, kita juga melihat bahwa pertumbuhan perbankan yang sangat pesat ini
bukannya tidak menimbulkan permasalahan tersendiri. Di tingkat makro, perkembangan
sektor keuangan yang pesat ini telah menimbulkan permasalahan di sektor moneter. Bagi
pengendalian moneter, perkembangan sektor keuangan yang pesat, yang juga salah
satunya didorong oleh arus globalisasi, telah menyebabkan berbagai hubungan kausalitas
antara besaran-besaran moneter menjadi tidak tetap, yang berimplikasi kepada makin
kompleksnya transmisi kebijakan moneter dan kurang efektifnya instrumen moneter yang
ada Kompleksitas permasalahan ini bagaimanapun juga turut mempengaruhi
kemampuan kita dalam merespon setiap gejolak yang timbul dalam perekonomian.
II. Penyebab Krisis Ekonomi dan Dampaknya terhadap Proses Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Dalam perkembangannya, ternyata infrastruktur perekonomian di Indonesia
belum mampu menghadapi semakin cepatnya proses integrasi perekonomian Indonesia
ke dalam perekonomian global. Perangkat kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar
yang efisien ternyata belum tertata dengan baik. Sebagai konsekuensinya, ekonomi
Indonesia menjadi sangat rentan terhadap gejolak eksternal sebagaimana terjadi pada
pertengahan tahun 1997. Sebagaimana terbukti dari pengalaman negara-negara tetangga
di Asia yang sejak pertengahan tahun 1997 mengalami krisis ekonomi, kestabilan
ekonomi makro ternyata tidak dapat menjamin kinerja perekonomian yang baik secara
berkesinambungan selama masih terdapat kelemahan-kelemahan pada infrastruktur
perekonomian
Di satu sisi, keterbukaan perekonomian dengan sistem devisa bebas dan berbagai
langkah deregulasi yang ditempuh pemerintah telah memberikan manfaat yang besar bagi
perkembangan perekonomian domestik. Dalam beberapa tahun terakhir sebelum krisis,
dinamisme perekonomian Indonesia cukup tinggi dengan laju inflasi yang menurun dan
surplus neraca pembayaran yang cukup besar. Perkembangan makroekonomi yang
mantap tersebut telah memberikan keyakinan kepada investor, baik dalam dan luar negeri
atas prospek perekonomian Indonesia sehingga semakin mendorong masuknya arus
modal dan semakin memperdalam proses integrasi perekonomian nasional ke dalam
perekonomian internasional.
Akan tetapi, di sisi lain, dinamisme perekonomian yang tinggi tersebut tidak
sepenuhnya disertai dengan upaya untuk menata pengelolaan dunia usaha dan
menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sebagaimana tercermin pada
kurangnya transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan. Sementara itu, kelemahan
informasi, baik mutu maupun ketersediaan, semakin memperburuk kualitas keputusan
yang diambil oleh dunia usaha dan pemerintah. Berbagai faktor ini memperlemah kondisi
fundamental mikroekonomi sehingga meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap
guncangan-guncangan eksternal.
Melemahnya fundamental mikroekonomi dapat dilihat pada menurunnya efisiensi
pengelolaan dunia usaha dalam beberapa tahun sebelum krisis ekonomi terjadi. Hal ini
berkaitan dengan semakin tingginya distorsi dalam pengalokasian sumber daya baik yang
dilakukan oleh sektor swasta maupun sektor pemerintah sehingga mendorong
meningkatnya konglomerasi usaha yang monopolistik dan perilaku pencari rente (rent
seeking). Meskipun kegiatan investasi dan produksi naik dengan cepat dalam lima tahun
terakhir, pemanfaatan sumber daya, terutama modal, menjadi kurang optimal dan
cenderung terkonsentrasi pada sektor-sektor yang kurang produktif. Sebagai akibatnya,
perekonomian menjadi kurang efisien seperti tercermin pada naiknya incremental capital
output ratio (ICOR) dari rata-rata sekitar 3,1 pada tahun 1988-1991 menjadi rata-rata
sekitar 4,2 dalam tahun 1992-1997.
Kelemahan fundamental mikroekonomi juga tercermin pada kerentanan
(fragility) yang terdapat di dalam sektor keuangan, khususnya perbankan. Terdapat lima
faktor yang mengakibatkan kondisi mikro perbankan nasional menjadi rentan terhadap
gejolak ekonomi, yaitu:
Pertama, adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank sentral atas
kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam
industri perbankan telah menimbulkan moral hazard di kalangan pengelola dan
pemilik bank. Jaminan yang ada praktis menggeser risiko yang dihadapi
perbankan ke bank sentral serta mendorong perbankan untuk mengambil utang
yang berlebihan dan memberikan kredit ke sektor-sektor yang berisiko tinggi.
Kedua, sistem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum
sepenuhnya dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional
perbankan. Apalagi independensi bank sentral pada periode tersebut sangat
kurang sehingga menyebabkan langkah-langkah koreksi tidak dapat dilakukan
secara efektif. Hal ini telah mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan operasional yang telah ditetapkan.
Ketiga, besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank
(connected lending) telah mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang
dihadapi bank.
Keempat, relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan
penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank.
Situasi ini diperburuk pula oleh lemahnya pengawasan dan sistem informasi
internal di dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah
dan posisi risiko yang berlebihan.
Kelima, kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah
mengakibatkan kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi
keuangan suatu bank juga telah melemahkan upaya untuk melakukan kontrol
sosial dan menciptakan disiplin pasar.
Kelemahan fundamental mikroekonomi juga muncul sebagai dampak dari lemahnya
pengelolaan dunia usaha (poor corporate governance). Belum kuatnya kesadaran akan
pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam berusaha mengakibatkan kegiatan usaha
swasta cenderung kurang efisien dan kurang memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan
usaha yang sehat. Selain itu, buruknya pengelolaan dunia usaha juga terkait dengan
belum adanya perangkat hukum yang efektif, terutama dalam penyelesaian kepailitan
usaha. Berbagai kelemahan ini mengakibatkan dunia usaha cenderung melakukan
investasi yang berlebihan pada sektor-sektor ekonomi yang rentan terhadap perubahan
nilai tukar dan suku bunga, seperti sektor properti.
Ada dua hal yang mendorong kecenderungan investasi yang berlebihan tersebut.
Pertama, dinamisme perekonomian Indonesia yang semakin meningkat telah
menimbulkan keyakinan yang berlebihan pada diri investor asing sehingga mengurangi
kehati-hatian mereka dalam memberikan pinjaman kepada dunia usaha di Indonesia.
Kedua, dunia usaha dalam negeri memanfaatkan perbedaan suku bunga dalam dan luar
negeri yang cukup besar sehingga arus modal masuk dari luar negeri, terutama dalam
bentuk pinjaman swasta jangka pendek, terus mengalir. Pada saat yang bersamaan nilai
tukar rupiah yang relatif stabil sejak beberapa tahun terakhir, telah menimbulkan adanya
kepastian terhadap perkembangan kurs (implicit guarantee) sehingga meningkatkan
keyakinan dunia usaha akan kemantapan perkembangan ekonomi.
Ketersediaan pembiayaan yang relatif mudah diperoleh menyebabkan sektor swasta
semakin mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha sebagaimana tercermin
pada tingginya pangsa utang luar negeri berjangka pendek untuk pembiayaan investasi
berjangka panjang (maturity gap). Perkembangan ini dengan sendirinya menimbulkan
kerentanan sektor swasta terhadap gejolak nilai tukar dan telah mendorong kepailitan
pada banyak perusahaan swasta.
Selanjutnya, kelemahan-kelemahan fundamental mikroekonomi tersebut di atas
mengakibatkan ketergantungan pada sektor luar negeri semakin besar, khususnya utang
luar negeri sektor swasta. Ketergantungan sektor swasta kepada sektor luar negeri
tersebut terus meningkat sejalan dengan pesatnya kegiatan investasi sektor swasta. Hal ini
mengakibatkan jumlah utang luar negeri swasta meningkat tajam hingga tahun 1996.
Dengan kondisi perekonomian yang masih mengidap berbagai kelemahan mendasar
tersebut maka gejolak nilai tukar yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 berubah
dengan cepat menjadi krisis ekonomi dan keuangan yang sangat dalam. Di sektor luar
negeri, pengaruh krisis nilai tukar telah menyebabkan arus modal keluar neto, khususnya
sektor swasta, yang sangat besar sehingga neraca pembayaran mengalami defisit untuk
pertama kalinya sejak tahun 1989/90. Selain itu, posisi pinjaman dan beban angsuran
pembayaran luar negeri naik sangat tinggi, terutama dalam rupiah, sehingga banyak
perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Di sektor perbankan, krisis nilai tukar yang terjadi telah menyebabkan
terganggunya fungsi intermediasi yang ditandai dengan banyaknya bank menjadi
insolvent. Hal ini terjadi karena meningkatnya kerentanan terhadap posisi hutang dalam
USD sehingga memberatkan sisi liability (pasiva) bank. Sisi asset (aktiva) bank
memburuk sebagaimana tercermin pada meningkatnya kredit bermasalah atau non
performing loan (NPL) akibat banyaknya debitur yang default. Sementara itu, upaya
pengetatan likuiditas melalui kenaikan suku bunga yang dilakukan guna menstabilkan
inflasi dan nilai tukar telah pula menyebabkan “negative spread” di sektor perbankan.
Krisis yang berkelanjutan telah mengakibatkan perbankan nasional menjadi
semakin rawan. Pada sisi yang lain kepercayaan masyarakat semakin merosot, khususnya
sejak pencabutan izin usaha 16 bank pada bulan November 1997. Hal tersebut terjadi
karena kebijakan tersebut dilakukan tanpa persiapan yang memadai untuk menghindari
rush atau bank-run Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tersebut
terlihat dari pemindahan dana oleh penabung ke instrumen/bank yang lebih aman baik di
dalam maupun luar negeri. Tidak adanya lembaga deposit insurance (lembaga penjamin
simpanan) membuat penurunan kepercayaan ini bertambah parah.
Di sektor moneter, tingginya bantuan likuiditas yang terpaksa diberikan oleh bank
sentral kepada bank-bank telah mendorong peningkatan uang beredar yang sangat besar
sehingga memperbesar tekanan inflasi yang sebelumnya memang sudah meningkat tajam
akibat depresiasi rupiah yang sangat besar. Di sektor fiskal, pengeluaran pemerintah,
terutama untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pembayaran utang luar negeri,
meningkat tajam sehingga operasi keuangan pemerintah mengalami defisit yang cukup
besar. Di sektor riil, kegiatan investasi dan produksi mengalami kontraksi sementara
tingkat pengangguran meningkat pesat. Berbagai perkembangan tersebut dengan jelas
menggambarkan bahwa krisis yang terjadi telah mengakibatkan dampak negatif yang
amat luas kepada seluruh sendi perekonomian nasional.
III. Langkah-langkah Kebijakan untuk Mengatasi Krisis Ekonomi
Langkah kebijakan yang diambil selama krisis ini terfokus kepada
mengembalikan kestabilan makroekonomi dan membangun kembali infrastruktur
ekonomi, khususnya di sektor perbankan dan dunia usaha. Mengingat kompleksnya
masalah yang dihadapi, strategi umum dari program-program ekonomi yang diterapkan
di negara-negara yang mengalami krisis serupa bertumpu pada empat bidang pokok:
Di bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju
inflasi dan penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan.
Di bidang fiskal, ditempuh kebijakan yang lebih terfokus kepada upaya relokasi
pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif kepada kegiatan-kegiatan
yang diharapkan dapat mengurangi social cost yang ditimbulkan oleh krisis
ekonomi. Salah satu bentuknya adalah dengan program Jaring Pengaman Sosial.
Di bidang pengelolaan (governance), ditempuh kebijakan untuk memperbaiki
kemampuan pengelolaan baik di sektor publik maupun swasta. Termasuk di
dalamnya upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli, dan kegiatankegiatan
yang kurang produktif lainnya.
Di bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahankelemahan
sistem perbankan berupa program restrukturisasi perbankan yang
bertujuan untuk mencapai dua hal, yaitu: mengatasi dampak krisis dan
menghindari terjadinya krisis serupa di masa datang.
3.1 Pemulihan Ekonomi melalui Kebijakan Perbankan
Upaya penyehatan dan permberdayaan sektor perbankan telah menyita perhatian
yang sangat besar, tidak hanya dari segi waktu dan tenaga yang dicurahkan tetapi juga
dari segi biaya yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan pentingnya peranan perbankan
dalam proses kebangkitan ekonomi secara keseluruhan. Di samping peranannya dalam
penyelenggaraan transaksi pembayaran nasional dan internasional serta menjalankan
fungsi intermediasi (penyaluran dana dari penabung/pemilik dana ke investor), sektor
perbankan juga berfungsi sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Dengan industri
perbankan yang pada umumnya mengalami kesulitan, transmisi kebijakan moneter
melalui sektor perbankan tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Hal ini
mengakibatkan kebijakan moneter kurang efektif dalam mencapai sasarannya. Dengan
demikian, sangat sulit dibayangkan format pemulihan ekonomi nasional melalui program
stabilisasi makroekonomi apabila sektor perbankan tetap berada dalam kesulitan yang
parah.
Upaya pemberdayaan perbankan dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek,
yaitu rekapitalisasi bank-bank, restrukturisasi kredit perbankan, pengembangan
infrastruktur perbankan, dan penyempurnaan pelaksanaan fungsi pengawasan bank.
Pertama, rekapitalisasi bank-bank. Mengingat kondisi permodalan bank-bank
sudah demikian parah sebagai akibat dari krisis ekonomi, sebagaimana telah diuraikan di
12
muka, langkah strategis pertama yang ahrus dilakukan adalah memperbaiki permodalan
tersebut. Kebijakan rekapitalisasi ini disusun dalam suatu paket, yang terdiri dari:
a) Rekapitalisasi bagi bank-bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan
mencapai rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio –CAR) minimum
sebesar 8% pada tahun 2001. Bank-bank ini dinyatakan lulus dari tiga buah test
yang sangat ketat meliputi kondisi keuangan, integritas pemilik dan manajemen,
serta renca kerja untuk tiga tahun;
b) Pembersihan bank-bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai pemilik dan pengurus yang baik (tidak fit and proper);
c) Penutupan bagi bank-bank yang diperkirakan tidak akan mampu bertahan;
d) Penyelesaian aset-aset bank-bank yang ditutup;
e) Penyelesaian bagi kredit macet perbankan, dengan mengalihkan ke Aset
Management Unit dan menghapusbukukan dari bank-bank yang direkapitalisasi.
Dalam melaksanakan rekapitalisasi perbankan dibutuhkan biaya dalam jumlah
besar. Dana tersebut dapat datang dari sektor swasta dan dari pemerintah. Penambahan
modal dari sektor swasta dapat datang dari pemodal domestik maupun pemodal asing.
Yang paling baik adalah dari pemodal domestik karena kepemilikan bank-bank oleh
pihak domestik akan lebih memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Namun, akibat
krisis ekonomi hal yang ideal ini sulit dicapai karena sektor swasta nasional sedang
mengalami kesulitan likuiditas. Untuk ini maka peranan investor asing menjadi penting.
Dengan masuknya investor asing dalam perbankan nasional maka kepercayaan luar
negeri terhadap perekonomian Indonesia akan meningkat.
Aspek kedua adalah restrukturisasi kredit. Aspek ini sangat menentukan
keberhasilan program rekapitalisasi perbankan dan program penyehatan ekonomi secara
keseluruhan. Kegiatan ini didasarkan pada ketentuan restrukturisasi kredit bulan
November 1998 dan berlaku bagi bank-bank yang ikut dalam program rekapitalisasi, baik
bank-bank pemerintah, BPD, maupun bank-bank swasta nasional. Restrukturisasi kredit
yang dilakukan melalui prakarsa Bank Indonesia ini melengkapi restrukturisasi kredit dan
aset perbankan lainnya yang dilakukan oleh BPPN. Restrukturisasi kredit, yang pada
hakekatnya merupakan bagian utama dari retrukturisasi dunia usaha ini, diharapkan dapat
memperbaiki pembukuan bank, dan sekaligus menggairahkan para debiturnya untuk
kembali berproduksi, yang berarti menggerakkan sektor riil.
Aspek ketiga adalah pengembangan infrastruktur perbankan, untuk meningkatkan
daya tahan bank-bank dalam menghadapi berbagai gejolak. Salah satu sarana yang
sedang disiapkan adalah pendirian Lembaga Penjamin Simpanan, yang akan
menggantikan program penjaminan pemerintah yang pada waktu ini berlaku dan akan
berakhir pada bulan Januari 2000. Sarana lain adalah pengembangan bank syariah, yang
pada dirinya dapat diharapkan mempunyai daya tahan yang lebih baik menghadapi masamasa
krisis, dan dengan demikian dapat memperkuat sistem perbankan secara
keseluruhan.
Khusus mengenai bank syariah perlu dikemukan bahwa pengalaman selama krisis
ekonomi ini memberikan suatu pelajaran berharga bagi kita bahwa prinsip risk sharing
(berbagi risiko) atau profit and loss sharing (bagi hasil), sebagaimana yang terdapat pada
sistem bank berdasarkan prinsip syariah, merupakan suatu prinsip yang dapat berperan
meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi. Dalam hal ini, prinsip bagi hasil atau
berbagi risiko antara pemilik dana dan pengguna dana sudah diperjanjikan secara jelas
dari awal, sehingga jika terjadi kesulitan usaha karena krisis ekonomi, misalnya, maka
risiko kesulitan usaha tersebut otomatis ditanggung bersama oleh pemilik dana dan
pengguna dana. Dengan demikian kesulitan ekonomi akan relatif lebih ringan terasa oleh
perorangan dan badan usaha secara individual sehingga kebangkitan kembali ekonomi
dapat diharapkan berlangsung lebih cepat.
Aspek keempat yang tidak kalah pentingnya adalah menyempurnakan
pelaksanaan fungsi pengawasan bank, yaitu dengan lebih mengutamakan penegakan
aturan (law enforcement) dan dengan meningkatkan frekuensi pemeriksaan bank yang
difokuskan pada resiko yang dihadapi oleh setiap bank.
Keempat aspek dalam rangka restrukturisasi perbankan tersebut berjalan simultan.
Melalui berbagai upaya ini diharapkan kelemahan sistem perbankan yang selama ini
menjadi sumber dari beratnya kerusakan ekonomi akibat krisis akan berangsur-angsur
hilang sehingga kita akan memiliki sistem perbankan yang mempunyai ketahanan yang
tinggi.
3.2 Persyaratan bagi Kesuksesan Program Restrukturisasi Perbankan
Untuk menjaga sustainability kebijakan restrukturisasi perbankan, baik melalui
penyehatan di sisi aktiva maupun pasiva, perlu disertai dengan restrukturisasi sisi
operasional perbankan dan perbaikan ekonomi makro secara umum, termasuk sektor riil.
Untuk itu diperlukan beberapa syarat yang perlu diciptakan, yaitu:
a. Kondisi ekonomi makro yang stabil. Kondisi ekonomi yang stabil merupakan
persyaratan yang penting bagi terwujudnya kegiatan usaha dan aktivitas
perbankan yang sustainable. Dengan laju inflasi yang rendah, disertai oleh nilai
tukar yang stabil, suku bunga dapat diharapkan untuk terus turun ke tingkat
“normal”, sehingga bank-bank tidak lagi harus menanggung beban negative
spread dan bahkan dapat memupuk keuntungan untuk memperkuat
permodalannya. Kestabilan nilai tukar dan kestabilan tingkat harga juga pada
dirinya memberikan kestabilan dan kepastian bagi dunia usaha dan perbankan.
b. Dukungan dari program restrukturisasi dunia usaha. Penyehatan usaha bank perlu
didampingi oleh penyehatan sektor riil karena keduanya terdapat keterkaitan yang
sangat erat. Dalam hubungan ini langkah-langkah yang dilakukan melalui
program INDRA, Prakarsa Jakarta, maupun program restrukturisasi kredit bankbank
dengan prokarsa Bank Indonesia diharapkan dapat menyelesaikan masalah
yang dihadapi dunia usaha, sehingga dunia usaha dapat mulai berkiprah kembali
bersama-sama dunia perbankan.
c. Pembaharuan sistem hukum dan perundang-undangan serta sistem akuntansi.
Perbaikan dari segi hukum dan akuntansi diharapkan untuk menciptakan
transparansi dan kepastian usaha bank dengan tetap memberlakukan azas kehatihatian.
d. Penciptaan pasar yang efisien. Penciptaan pasar yang efisien sehingga
memungkinkan terciptanya fungsi intermediasi yang optimum dan efektivitas
kebijakan moneter. Hal ini dilakukan antara lain melalui penciptaan sistem
insentif yang cocok, yaitu berdasarkan mekanisme pasar.
e. Tenaga-tenaga terlatih yang mempunyai dedikasi dan integritas tinggi untuk
mengelola perbankan. Sehubungan dengan itu, program-program pelatihan dan
pembinaan, serta program pengawasan bank yang efektif dan terus menerus untuk
menjamin kualitas dari sumber daya manusia yang ada di perbankan merupakan
hal-hal yang mutlak harus dilakukan.
3.3 Pemulihan Ekonomi Melalui Kebijakan Moneter
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi
karena tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan
terhambat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan
moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara
kestabilan harga dan nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung
pengertian kestabilan harga (laju inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan
kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar
atau yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka
tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai
sasaran operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang terkendali
maka perkembangan jumlah uang beredar, yaitu M1 dan M2, diharapkan juga ikut
terkendali. Selanjutnya, dengan jumlah uang beredar yang terkendali diharapkan
permintaan agregat akan barang dan jasa selalu bergerak dalam jumlah yang seimbang
dengan kemampuan produksi nasional sehingga harga-harga dan nilai tukar dapat
bergerak stabil.
Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti telah diuraikan di atas,
Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi, terutama selama tahun 1998,
menerapkan kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan stabilitas moneter. Kebijakan
moneter ketat tersebut tercermin pada pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer
yang terus ditekan dari level tertinggi 69,7% pada bulan September 1998 menjadi 11,2%
pada bulan Juni 1999. Kebijakan moneter ketat terpaksa dilakukan karena dalam periode
itu ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat tinggi dan jumlah uang beredar
meningkat sangat pesat.
Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya
memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah mendorong kenaikan suku bunga
domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau
memegang rupiah dan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta
tidak menggunakannya untuk membeli valuta asing.
Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat
yang dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan
nasional mulai memberikan hasil positif sejak triwulan IV 1998. Pertumbuhan uang
beredar yang melambat dan suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah
mengurangi peluang dan hasrat masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga
tekanan depresiasi rupiah berangsur surut. Sejak pertengahan tahun 1998 nilai tukar
rupiah terhadap USD cenderung menguat dan kemudian bergerak relatif stabil selama
tahun 1999.
Sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang diterapkan sejak 14 Agustus
1997, perkembangan nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar.
Di dalam sistem tersebut, penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan
1998 hingga akhir 1999 lebih banyak disebabkan oleh meredanya tekanan permintaan
valas sejalan dengan terkendalinya jumlah uang beredar dan turunnya ekspektasi inflasi.
Bank Indonesia hanya melakukan penjualan valas melalui mekanisme pasar pada harga
pasar untuk mensterilisasi atau menyedot kembali ekspansi moneter yang berasal dari
pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan bukan terutama ditujukan untuk
mengarahkan nilai tukar rupiah ke suatu tingkat tertentu. Pelaksanaan penjualan valas itu
pun tidak sampai membahayakan posisi cadangan devisa Bank Indonesia karena
menggunakan devisa yang berasal dari penarikan hutang luar negeri pemerintah yang
memang diperuntukkan untuk mendukung pembiayaan defisit anggaran pemerintah.
Nilai tukar rupiah yang menguat serta didukung oleh pasokan dan distribusi
barang-barang kebutuhan pokok yang membaik telah mendorong penurunan laju inflasi
sejak awal triwulan IV 1998. Bahkan, laju inflasi bulanan yang sempat mencapai 12,67%
pada bulan Februari 1998, mencatat angka negatif atau deflasi dalam bulan Oktober
1998. Deflasi tersebut kemudian berlanjut sebanyak tujuh kali berturut-turut selama
periode Maret – September 1999. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi selama
tahun 1999 hanya mencapai 2,0%, jauh lebih rendah daripada laju inflasi selama tahun
1998 yang mencapai 77,6%. Berarti Indonesia telah berhasil mengelakkan bahaya
hiperinflasi yang sempat mengancam selama paruh pertama 1998.
Dalam perkembangan selanjutnya, laju inflasi yang sangat rendah dan nilai tukar
rupiah yang telah jauh menguat dibandingkan di masa puncak krisis telah memberikan
ruang gerak bagi Bank Indonesia untuk memperlonggar kebijakan moneter dan
mendorong penurunan suku bunga domestik. Sebagai cerminan kebijakan moneter yang
agak longgar, pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang sebelumnya terus
diturunkan hingga mencapai 11,2% pada Juni 1999, sejak awal semester II 1999 mulai
dinaikkan hingga mencapai 15,7% pada Maret 2000. Sejalan dengan itu, suku bunga SBI
1 bulan yang selama ini menjadi patokan (benchmark) bagi bank-bank terus menurun dari
level tertinggi 70,58% pada September 1998 menjadi 11,0% pada akhir April 2000.
Penurunan suku bunga SBI yang cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar uang
antarbank (PUAB) dan simpanan perbankan dengan laju penurunan yang hampir sama.
Suku bunga kredit (kredit modal kerja) pun mengalami penurunan meskipun tidak
secepat dan sebesar penurunan suku bunga simpanan perbankan.
Penurunan laju inflasi, penguatan nilai tukar rupiah, dan penurunan suku bunga
membentuk suatu lingkaran yang saling memperkuat (virtuous circle) sehingga membuka
peluang bagi pemulihan ekonomi. Tanda-tanda awal kebangkitan ekonomi Indonesia
mulai muncul sejak triwulan I 1999 ketika PDB riil dalam triwulan tersebut untuk
pertama kalinya sejak 1997 mencatat pertumbuhan triwulanan positif.
3.4 Arah dan Sasaran Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pasca UU No. 23/99
Dari sisi pengelolaan moneter, krisis ekonomi sesungguhnya telah melahirkan
suatu pemikiran ulang bagi peran Bank Indonesia yang seharusnya dalam perekonomian,
dan sekaligus perannya dalam institusi kenegaraan di Republik ini. Pengalaman tersebut
telah memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bahwa institusi bank sentral,
dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, harus kembali kepada fungsi utamanya
sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang
dikeluarkannya. Kesadaran untuk memetik hikmah dari pengalaman itu pula yang
kemudian melahirkan persetujuan DPR atas Undang Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia yang mengamanatkan suatu perubahan yang sangat mendasar dalam hal
pengelolaan moneter. Dalam UU tersebut, pemikiran ulang ini diformulasikan dalam
suatu tujuan kebijakan moneter yang jauh lebih fokus dibandingkan dengan UU
sebelumnya, yaitu “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”.
Sejalan dengan kecenderungan banyak bank sentral di dunia untuk memfokuskan
sasaran kebijakan moneter kepada pencapaian stabilitas harga, pasal 7 dalam UU Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara eksplisit mengamanatkan tujuan
“mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah” sebagai sasaran kebijakan moneter.
Terminologi “kestabilan nilai rupiah” tentu saja dapat menghasilkan interpretasi yang
berbeda: kestabilan secara internal – yaitu kestabilan harga (stable in terms of prices of
goods and services), atau kestabilan secara eksternal – yaitu kestabilan nilai tukar (stable
in terms of prices of other currencies). Pilihan atas interpretasi yang berbeda tersebut
mempunyai implementasi yang sangat berbeda dalam hal kebijakan moneter yang harus
dilakukan untuk mencapai sasaran kestabilan rupiah yang dipilih.
Dalam diskusi tentang kerangka kerja kebijakan moneter, diskusi di kalangan
teoritisi maupun praktisi bank sentral cenderung mengartikan kestabilan mata uang dalam
interpretasi yang pertama, yaitu kestabilan harga yang diukur dengan tingkat inflasi. Di
samping karena alasan teoritis bahwa kestabilan harga merupakan sasaran yang paling
relevan bagi kebijakan moneter, pasal-pasal maupun penjelasan pasal-pasal dalam UU
Bank Indonesia lebih sesuai dengan interpretasi tersebut. Argumen lain adalah bahwa
dalam jangka panjang, pencapaian kestabilan harga dapat mengarahkan kestabilan nilai
tukar. Secara lebih pragmatis, seperti telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya, dapat
dikatakan bahwa karena sejak tahun 1997 kita telah memasuki rejim nilai tukar bebas
(free floating exchange rate), maka target nilai tukar tidak dapat lagi digunakan sebagai
anchor kebijakan moneter, sehingga sasaran kestabilan harga kemudian menjadi anchor
kebijakan moneter.
Bagi masyarakat secara umum, kestabilan harga merupakan sesuatu yang sangat
penting khususnya bagi golongan masyarakat berpendapatan tetap. Inflasi yang tinggi
seringkali dikategorikan sebagai musuh masyarakat nomor satu karena dapat
menggerogoti daya beli dari pendapatan yang diperoleh masyarakat. Bagi kalangan dunia
usaha, inflasi yang tinggi akan sangat menyulitkan kalkulasi perencanaan bisnis dan
dengan demikian akan berdampak buruk bagi aktivitas perekonomian dalam jangka
panjang. Bagi banyak ekonom, telah terbentuk semacam kesepakatan bahwa inflasi yang
tinggi akan berdampak buruk bagi proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Bahkan, penelitian dengan menggunakan panel data dari beberapa negara membuktikan
bahwa laju inflasi yang moderat sekalipun dapat berdampak buruk bagi proses
pertumbuhan (Ghosh and Phllips, 1998).
Dengan kerangka pemikiran di atas, sejak tahun 2000 Bank Indonesia pada setiap
awal tahun menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi tahunan sebagai sasaran
kebijakan moneter. Untuk tahun 2003 ini, dengan mempertimbangkan prospek ekonomi
dalam negeri dan luar negeri, Bank Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi IHK tahun
2003 pada tingkat 9% dengan marjin deviasi ±1%. Selanjutnya, dalam jangka menengah
Bank Indonesia berkomitmen untuk secara bertahap menurunkan laju inflasi menjadi
sekitar 6% pada tahun 2006.
IV. Perkembangan Kinerja Ekonomi, Moneter, dan Perbankan Terkini
Berbagai upaya melalui jalan panjang dan berliku dalam mengatasi krisis di atas
sedikit demi sedikit mulai membuahkan hasil. Sampai dengan bulan Juni 2003, kondisi
perekonomian menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang semakin nyata. Secara umum,
suku bunga SBI mulai turun, laju inflasi diharapkan sesuai dengan target, nilai tukar
rupiah menguat, uang primer terkendali, dan fungsi intermediasi perbankan meski
perlahan, telah mulai bergerak kembali.
. Dari sisi perkembangan harga, inflasi pada bulan Mei tercatat sebesar 0,21%
(m-t-m) atau 6,91% (y-o-y). Secara umum trend inflasi masih menunjukkan
kecenderungan yang menurun. Peningkatan harga yang terjadi diduga didorong oleh
kenaikan harga TDL, sementara itu harga beberapa bahan pokok masih menunjukkan
penurunan (deflasi) seiring dengan melimpahnya pasokan.
Dengan perkembangan laju inflasi sampai dengan bulan Mei tersebut, proyeksi
inflasi di akhir tahun diperkirakan akan menuju batas bawah dari target yang telah
ditetapkan, yaitu menuju ke level 8,0% (y-o-y). Ditinjau dari faktor yang
mempengaruhinya, trend penurunan laju inflasi ke depan antara lain lebih disebabkan
oleh masih relatif lemahnya interaksi antara permintaan dan penawaran, membaiknya
ekspektasi inflasi masyarakat yang tercermin pada semakin banyaknya konsumen yang
berekspektasi akan turunnya harga, dan dampak penguatan rupiah dalam beberapa bulan
terakhir.
Sementara itu, nilai tukar rupiah pada bulan Mei 2003 menguat cukup tajam
sebesar 5,24% menjadi Rp8.243,- per USD. Penguatan ini dipicu oleh meningkatnya
aliran modal masuk yang didorong oleh berlanjutnya program divestasi, menurunnya
tingkat risiko investasi, dan tingkat suku bunga di dalam negeri yang masih menarik.
Secara fundamental, membaiknya indikator makro-ekonomi moneter, terutama kondisi
neraca pembayaran yang masih mencatat surplus, serta supply valas yang masih memadai
di pasar juga memberikan andil bagi apresiasi rupiah yang tajam. Di sisi sentimen pasar,
stabilitas politik dan keamanan di dalam negeri, kemungkinan pencairan pinjaman IMF,
kelanjutan program divestasi, dan melemahnya USD secara global semakin memacu
penguatan rupiah.
Penguatan nilai tukar dan relatif rendahnya laju inflasi tersebut, telah memberikan
peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga secara bertahap. Rata-rata
tertimbang (RRT) suku bunga SBI 1 bulan pada bulan Mei menurun tajam 62bps
menjadi 10,44%. Sementara itu, pada bulan April suku bunga SBI turun 34bps dari
11,40% menjadi 11,06%. Kecenderungan penurunan suku bunga diperkirakan masih
terus berlanjut. Trend penurunan suku bunga instrumen moneter juga telah
ditransmisikan pada suku bunga perbankan namun dengan skala yang berbeda-beda.
Dalam empat bulan pertama tahun 2003, penurunan suku bunga SBI sebesar 193bps telah
direspon dengan penurunan suku bunga deposito 137bps, dan ditransmisikan ke
penurunan suku bunga Kredit Modal Kerja 38bps, Kredit Investasi 8bps, dan Kredit
Konsumsi 22 bps. Kecenderungan penurunan suku bunga nominal membawa suku bunga
riil kembali bergerak turun, namun masih tetap lebih tinggi dibanding sejumlah negara di
kawasan Asia.
Di sisi penyaluran kredit, kredit yang disalurkan perbankan pada bulan April
masih melanjutkan trend peningkatan (Rp6,8 triliun). Untuk keseluruhan triwulan II
2003, kredit perbankan diperkirakan akan sedikit meningkat karena masih tingginya
kelonggaran tarik atas kredit baru yang telah disetujui dan target posisi kredit akhir tahun
2003 yang lebih tinggi berdasarkan business plan perbankan. Hal ini dikuatkan oleh hasil
survey yang memprakirakan akan meningkatnya permintaan kredit pada triwulan II 2003.
Atas dasar jenis penggunaan, peningkatan kredit baru terjadi pada semua jenis kredit.
Sementara itu menurut sektornya, pertumbuhan kredit baru terjadi pada sektor
pertambangan dan perdagangan.
Di samping pembiayaan dari kredit perbankan, sektor korporat juga mendapatkan
tambahan pembiayaan dari penerbitan obligasi swasta baik di dalam maupun di luar
negeri. Adanya kelebihan permintaan pada penerbitan obligasi korporat memberi sinyal
membaiknya potensi dana dari obligasi sehingga diperkirakan pembiayaan sektor
korporat dari pasar obligasi masih akan tumbuh positif di tahun 2003. Untuk pembiayaan
konsumsi, kegiatan usaha perusahaan pembiayaan tercatat terus meningkat, khususnya
untuk pembiayaan konsumen. Selain itu, volume penggunaan kartu debet dan kartu kredit
sampai dengan bulan April 2003 menunjukkan trend pertumbuhan yang meningkat.
Kecenderungan melemahnya tekanan harga, menguatnya nilai tukar, dan terus
menurunnya suku bunga telah memberikan atmosfer yang positif bagi proses pemulihan
ekonomi yang pada tahun 2003 ini PDB diperkirakan optimis mencapai kisaran 3,5%-
4%. Sementara itu, trend penurunan laju inflasi yang terus berlangsung semakin
memantapkan upaya pencapaian target inflasi tahun 2003 dan proses penurunan laju
inflasi jangka menengah-panjang yang telah dicanangkan. Mempertimbangkan
perkembangan dan prospek makro-ekonomi, arah kebijakan moneter dengan menurunkan
suku bunga masih dapat dilanjutkan, dengan tetap memperhatikan akselerasi penurunan
dan konsistensi sinyalnya, agar tetap kondusif bagi upaya mendorong kesinambungan
kegiatan ekonomi dan pencapaian target inflasi.
V. Kesimpulan
Dari uraian di atas, ada beberapa catatan yang dapat disisipkan pada bagian
penutup ini. Pertama, krisis ekonomi dan moneter yang dialami oleh Indonesia
merupakan krisis yang terburuk di antara krisis-krisis yang dialami oleh berbagai negara
akhir-akhir ini. Selama lebih dari lima tahun terakhir ini pula kita telah berupaya keluar
dari kesulitan ekonomi yang kita hadapi, tetapi selama itu pula kita merasakan bahwa
masih ada jarak antara keinginan dengan kenyataan yang ada. Hal ini tercermin pada
belum optimalnya pertumbuhan ekonomi, ekspor dan masih lesunya investasi asing dan
domestik. Alhasil, wajah perekonomian kita masih tampil lesu. Namun demikian tidak
dapat dipungkiri pula bahwa banyak kemajuan yang telah kita capai sepanjang lima tahun
ini terutama di sisi kestabilan ekonomi dan moneter. Hal ini tercermin dari menguatnya
nilai tukar rupiah, rendahnya laju inflasi, turunnya suku bunga, dan terkendalinya
pertumbuhan uang primer. Kita tentunya berharap dengan perbaikan-perbaikan di sisi
tersebut, pada gilirannya akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
Kedua, kesamaan pendapat, kebulatan tekad, serta konsensus nasional yang
dilandasi oleh kepentingan nasional secara keseluruhan merupakan prasyarat yang sangat
penting, atau bahkan mutlak, untuk keberhasilan upaya penanggulangan krisis. Oleh
karena itu peningkatan koordinasi kebijakan antara otoritas moneter dengan pemerintah
untuk menciptakan stabilitas ekonomi makro dan perkembangan sektor riil dalam rangka
pemulihan ekonomi menjadi sangat penting. Propenas menempatkan “koordinasi” pada
urutan teratas, karena menyadari, kurangnya koordinasi akan menghasilkan sasaransasaran
yang berbeda bahkan conflicting, membingungkan masyarakat, dan pada
akhirnya akan mengakibatkan rendahnya efektivitas pelaksanaan kebijakan.
Ketiga, fokus perhatian kita dalam beberapa tahun ke depan masih harus
diarahkan pada upaya membawa perekonomian kembali bergairah. Janganlah karena
keterpurukan ekonomi dan sosial beberapa tahun silam menyurutkan langkah kita,
mengurangi kepercayaan diri kita, memojokkan kita menjadi bangsa yang tak berdaya,
menggerogoti kebanggaan diri sebagai bangsa sehingga kita tidak tahu lagi apa yang
harus dilakukan. Kegiatan yang tidak berhubungan langsung atau memiliki prioritas yang
rendah sebaiknya dikebelakangkan. Yang harus dilakukan lebih dahulu, dilakukan lebih
dahulu karena bagaimana pun masih banyak kendala yang membatasi kita.
Daftar Pustaka
Arestis, Philip, dan Malcolm C. Sawyer (eds), “The Political Economy of Monetary
Policy”, Edward Elgar, Massachusetts, 1998.
Bank Indonesia, DPP-URES, “Perilaku Angka Pengganda Uang (Money Multiplier)”,
Kertas Kerja Intern yang tidak dipublikasikan, Jakarta, 1996.
Bank Indonesia, “Laporan Tahunan 1997/98”, Jakarta, 1998.
Boediono, “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”,
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1,
Juli 1998.
Caprio, Gerard, Jr., “Banking in Crisis: Expensive Lessons from Recent Financial
Crises”, The World Bank Research Group, Washington, D.C, June 1998.
Djiwandono, J. Soedradjad, “Macroeconomic Policy: A Foundation for Sustainable
Economic Development”, Kumpulan Pidato dan Makalah Gubernur Bank
Indonesia Juli – Desember 1996, No. 9, Bank Indonesia, Jakarta, 1996.
Eatwell, J., M. Milgate dan P. Newman (eds), “The New Palgrave, A Dictionary of
Economics”, Vol. 3, London, Macmillan, 1987.
International Monetary Fund, “The Asian Crisis: Causes and Cures”, Finance and
Development, Volume 35, No. 2, June 1998.
McKinnon, Ronald I., “Money and Capital in Economic Development”, Washington,
D.C., The Brookings Institutions, 1973.
Moreno, R., Pasadilla, G., dan Eli Remolona, “Asia’s Financial Crisis: Lessons and
Policy Responses”, Pacific Basin Working Paper Series: Economic Research
Department of Federal Reserve Bank of San Fransisco, USA, July 1998.
25
Sabirin, Syahril, “Indonesia’s Financial Reforms: Challenges in the 1990s for Its
Banking and Financial Markets”, Journal of Asian Economics, 2(2), Fall 1991.
Sabirin, Syahril, “Capital Account Liberalization”, dalam buku yang diedit oleh Shakil
Faruqi berjudul “Financial Sector Reforms in Asian and Latin American
Countries, Lessons of Comparative Experience”, The World Bank, Washington.
D.C., 1993.
Sarwono, Hartadi A., dan Perry Warjiyo, “Mencari Paradigma Baru Manajemen
Moneter dalam Sistem Nilai tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk
Penerapannya di Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank
Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 1998.
Shaw, Edward S., “Financial Deepening in Economic Development”, New York, Oxford
University Press, 1973.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar